Nilai tukar rupiah mencatatkan pelemahan ke level terendah dalam 4 tahun terakhir atau sejak April 2020 yang mendekati Rp16.000 per dolar AS.
Mmengutip Bloomberg, nilai tukar rupiah pada Selasa (2/4/2024) turun 0,5% menjadi Rp15.963 per dolar AS. Pelemahan ini seiring dengan outflow di pasar obligasi Indonesia, yang tercatat mencapai US$1,7 miliar pada kuartal pertama tahun ini.
Kepala Departemen Pengelolaan Moneter dan Aset Sekuritas Bank Indonesia (BI) Edi Susianto menyampaikan bahwa pelemahan rupiah banyak dipengaruhi oleh pelemahan yuan China.
Selain itu, kondisi rupiah juga masih dipengaruhi oleh penguatan dolar AS yang memicu capital outflow atau aliran modal keluar dari pasar Surat Berharga Negara (SBN).
“Rupiah lumayan agak tertekan dari kemarin, kelihatannya rupiah banyak terdampak dari pelemahan CNY. Sementara dari domestik, ada permintaan dolar AS terkait tepatriasi dan masih outflow-nya asing di pasar SBN,” katanya kepada Bisnis, Selasa (2/4/2024).
Edi menambahkan data inflasi pada Maret 2024 yang berada di atas ekspektasi juga turut memicu pelemahan nilai tukar rupiah.
Sebagaimana diketahui, tingkat inflasi pada Maret 2024 tercatat sebesar 0,52% secara bulanan (month-to-month/mtm) atau 3,05% secara tahunan (year-on-year/yoy).
Inflasi pada komponen harga bergejolak (volatile food) khususnya, melonjak ke level 2,61% secara bulanan atau 10,33% secara tahunan.
“Rilis data inflasi Indonesia kemarin yang di atas ekspektasi, yang banyak disebabkan oleh volatile food, ikut mendorong pelemahan rupiah,” jelas Edi.
Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede menilai bahwa pelemahan nilai tukar rupiah dalam beberapa pekan terakhir dipengaruhi oleh sejumlah faktor.
Pertama, ketidakpastian terkait arah suku bunga global meningkat. Dalam hal ini, bank sentral utama dunia cenderung berbeda dalam menentukan arah kebijakan moneternya.
Misalnya, European Central Bank (ECB) dan Bank of England (BoE) memberikan sinyal dovish, sementara Swiss National Bank (SNB) telah melakukan pemangkasan suku bunga pada tahun ini.
Di sisi lain, Bank of Japan (BoJ) memutuskan untuk keluar dari zona suku bunga acuan negatif dengan menaikkan suku bunga jangka pendeknya, dikarenakan inflasi yang berada di atas target.
The Fed pun kembali menegaskan bahwa keputusan moneternya ke depan akan tetap berdasarkan perkembangan indikator ekonomi terkini, meski telah memberikan sinyal bahwa pemangkasan suku bunga tetap terbuka tahun ini.
“Perkembangan kondisi suku bunga global yang cenderung divergent tersebut membuat sentimen risk-off di pasar negara berkembang, termasuk Indonesia, kembali meningkat. Hal ini terlihat terutama pada pasar obligasi Indonesia yang sudah mencatatkan net outflow secara year-to-date,” katanya.
Di dalam negeri, Josua mengatakan bahwa Indonesia dihadapkan dengan risiko kembalinya twin deficit atau kondisi dimana ekonomi mencatatkan pelebaran defisit neraca transaksi berjalan dan defisit fiskal.
Dari sisi fiskal, imbuhnya, terjadi ketidakpastian terkait dengan program-program pemerintahan kedepannya. Banyak pihak menilai pemerintah mendatang cukup agresif sehingga dapat mendorong peningkatan belanja negara cukup signifikan. Di sisi lain, penerimaan negara cenderung menurun sejalan dengan normalisasi harga komoditas.
Josua menambahkan data terkini menunjukkan bahwa APBN masih mencatatkan surplus, tapi jika dibandingkan dengan posisi periode yang sama tahun lalu, surplus cenderung menurun.
“Hal ini memberi kekhawatiran terkait pembiayaan APBN ke depan sehingga memberikan sentimen negatif pada pasar obligasi Indonesia. Tercatat bahwa kepemilikan asing di SBN terus menurun dari awal tahun,” jelasnya.