Nama Udin Diantara mungkin baru belakangan ini dikenal luas, namun perjalanan hidupnya jauh dari kata instan. Ditemui di kantor Desa Gedaren, ia dengan jujur mengaku pernah hidup keras di jalanan Yogyakarta pada tahun 90-an bersama sosok yang tak asing di dunia malam, Gun Jack.
“Saya ini orang jalanan. Tahun 90-an itu, saya bersama Gun Jack,” ujarnya blak-blakan, mengingat masa lalu yang mungkin sebagian orang tak berani buka kembali.
Udin bahkan pernah menjadi penjual minuman keras sebelum akhirnya hijrah dan membangun karier sebagai pengacara. Menjadi kepala desa? Itu bukan mimpinya. Dunia keras sudah ia lewati, dan jabatan kades tidak pernah masuk dalam rencana hidupnya.
Titik Balik: Permintaan Seorang Ayah yang Mengubah Segalanya
Perjalanan berubah ketika ayah angkat istrinya menyampaikan kalimat yang membuatnya terdiam.
“Bapak angkat istri saya bilang, tambanono atiku, kowe kudu jago lurah. Saya sampai menangis,” ujar Udin.
Baginya, kalimat itu bukan sekadar nasihat — tetapi amanah, restu, dan harapan besar yang tak bisa ia abaikan. Dari situ ia mulai membuka diri untuk maju sebagai calon kepala desa, meski membawa prinsip berat: jabatan bukan tempat mencari harta.
Maju Pilkades dengan Syarat Mengejutkan
Sebelum memutuskan maju, Udin membuat syarat yang langsung ia sampaikan kepada keluarga:
Ia tidak ingin menerima gaji dan tidak mau menikmati tanah bengkok jika kelak terpilih.
“Kalau jadi lurah, saya tidak mau mencari kekayaan. Insyaallah saya tidak mau terima gaji,” katanya mengingat percakapan tersebut.
Istrinya memberi izin penuh. Dari situ langkahnya mantap.
Hasil Pilkades pun mencengangkan:
Udin menang telak dengan 1.708 suara, sementara lawannya hanya memperoleh 237 suara. Setelah kemenangan, ia langsung menghormati rivalnya dengan mengantarnya pulang — tindakan yang membuat warga semakin menaruh hormat padanya.
Dilantik, Udin Langsung Tepati Janji: Tanah Bengkok Diserahkan ke Warga
Setelah resmi menjabat, Udin langsung menegaskan kembali komitmennya: ia tidak akan mengambil tanah bengkok sama sekali.
Di Gedaren, jatah bengkok untuk kades adalah 20 patok. Warga bahkan meminta agar ia menerima lima patok saja. Namun Udin tetap menolak. Kesepakatan baru pun dibuat: tanah bengkok dialihkan sepenuhnya kepada warga, dan Udin tidak ingin tahu bagaimana pembagiannya.
“Silakan disewakan, silakan dibagi. Saya jangan diberi tahu. Saya ikhlas,” tegasnya.
Kini pengelolaan tanah bengkok dilakukan oleh masing-masing RW hingga RT tanpa intervensi dari kades.
Dikira Aneh, Tapi Udin Punya Jawaban Menyentuh
Banyak pihak mempertanyakan sikap Udin yang menolak hak sahnya. Namun jawabannya selalu sama:
Ia merasa hidupnya sudah masuk “jam empat sore”, dan mengejar kekayaan bukan lagi tujuannya.
Baginya, rezeki dari jabatan bukan berupa harta, melainkan kesempatan memberi manfaat.
Fokus Bangun Gedaren Tanpa Ambisi Materi
Meski menolak gaji dan bengkok, Udin tetap fokus menjalankan amanah membangun Gedaren. Dalam dua tahun terakhir, ia terus mendorong pemerataan pembangunan di seluruh wilayah.
Ia ingin memutus stigma lama bahwa jabatan perangkat desa selalu berkaitan dengan keuntungan pribadi.
“Lah saya dikasih lungguh sebanyak itu, buat apa? Untuk apa?” katanya.
Udin berharap kebijakannya bisa membawa Gedaren menjadi desa yang lebih maju, sejahtera, dan bebas dari praktik-praktik yang merugikan warga.
Baginya, prinsip itu sederhana:
jabatan adalah amanah, harta adalah titipan — dan titipan harus dibagikan, bukan disimpan.

