Gerakan 30 September atau lebih dikenal sebagai peristiwa G30S merupakan salah satu peristiwa bersejarah yang terjadi di Indonesia.
G30S adalah peristiwa penculikan serta pembunuhan enam jenderal dan satu perwira Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat (TNI AD) di Jakarta dalam waktu satu malam.
Sesuai namanya, peristiwa berdarah ini terjadi mulai 30 September malam hingga 1 Oktober 1965 dini hari.
Dilansir dari Kompas.com, Kamis (30/9/2021), G30S dipicu tuduhan keberadaan Dewan Jenderal di tubuh AD yang akan melakukan kudeta terhadap Presiden Soekarno.
Namun, pada hari berlangsungnya G30S, Soekarno justru tidak berada di tempatnya, Istana Merdeka, Jakarta Pusat.
Lalu, di mana Soekarno saat G30S terjadi?
Keberadaan Soekarno saat G30S
Dikutip dari Kompas.com, Jumat (11/11/2022), salah satu ajudan Soekarno, Kolonel Bambang Widjanarko menyatakan, ketika G30S terjadi, Presiden Soekarno sedang tidak berada di Istana Merdeka.
Pada 30 September 1965 sekitar pukul 23.00 WIB, Kolonel Bambang memohon petunjuk Soekarno apakah akan ada perubahan acara pada keesokan hari, yaitu tanggal 1 Oktober 1965.
Menurut Bambang, salah satu jadwal Bung Karno pada 1 Oktober 1965 adalah bertemu dengan Wakil Perdana Menteri Leimena dan Pangad Jenderal Ahmad Yani.
Namun, keesokan paginya, setelah acara gladi resik peringatan Hari Ulang Tahun (HUT) TNI yang saat itu masih bernama Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) di Parkir Timur Senayan, Bambang tidak menemukan Presiden Soekarno di Istana Merdeka.
Tak lama berselang, Bambang menerima kabar dari Kolonel Sumirat dan AKBP Mangil Martowidjojo soal keberadaan Soekarno.
Ternyata, pada 30 September 1965 malam hari, Soekarno menginap di rumah salah satu istrinya, Ratna Sari Dewi, di Wisma Yaso, Jalan Gatot Subroto, Jakarta Selatan.
Pada 1 Oktober 1965 sekitar pukul 06.00 WIB, Soekarno pergi meninggalkan kediaman Ratna Sari Dewi menuju Istana Merdeka dengan diantar oleh AKBP Mangil dan dikawal pengawal pribadinya.
Akan tetapi, di tengah perjalanan menuju istana, Soekarno putar arah menuju rumah istri keduanya, Haryati, yang terletak di kawasan Slipi, Jakarta Barat.
Alasan Soekarno berpindah haluan adalah adanya kabar bahwa Istana Merdeka telah dikepung pasukan yang tidak dikenal.
Bambang menyebutkan, pada 1 Oktober 1965 pagi hari, Istana Merdeka memang benar telah dikelilingi pasukan bersenjata lengkap dengan kain berwarna kuning melingkar di leher.
Dari rumah Haryati di Slipi, Soekarno pun mendapat saran untuk segera mengungsi ke Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur.
Kendati demikian, Bambang tidak menyebutkan saran tersebut berasal dari siapa.
Soekarno sampai di Halim Perdanakusuma sekitar pukul 09.00 WIB. Dia disambut oleh Panglima Angkatan Udara Omar Dhani dan segera ditempatkan di rumah seorang perwira tinggi.
Di sana, Soekarno juga berencana akan berjumpa beberapa perwakilan Angkatan Darat yang hendak menemuinya di Istana Merdeka beberapa jam sebelumnya.
Namun, setibanya Bung Karno di Halim Perdanakusuma, para jenderal yang akan bertemu dengannya telah meninggal dunia dengan jenazah yang dibuang ke sumur Lubang Buaya.
Tindak lanjut tragedi G30S
Disadur dari Kompas.com, Sabtu (30/9/2023), Soekarno yang mengetahui informasi tersebut segera memerintahkan Komisaris Besar Polisi Sumirat untuk memanggil para panglima Angkatan Darat, Angkatan Laut, Angkatan Udara, dan Panglima Kodam V Jaya.
Tujuannya, guna meminta penjelasan terkait situasi genting yang menewaskan petinggi Angkatan Darat saat itu.
Di sisi lain, sekitar pukul 10.45 WIB, Brigadir Jenderal Sabur yang baru tiba dari Bandung, Jawa Barat, turut melaporkan situasi gawat.
Sekitar pukul 11.30 WIB, Presiden Soekarno pun beristirahat di rumah Komodor Susanto, Pilot Jet Star yang berpangkalan di Halim Perdanakusuma.
Setengah jam kemudian, sekitar pukul 12.00 WIB, melalui radio transmiter pinjaman Komodor Susanto, Soekarno mendengar pengumuman dari Letnan Kolonel Untung (tokoh kunci G30S) yang mengatasnamakan Dewan Revolusinya.
Karena kondisi yang semakin tidak kondusif, pimpinan Resimen Cakrabirawa, sebuah pasukan gabungan khusus yang bertugas menjaga keamanan presiden, memutuskan mengamankan Soekarno ke Istana Bogor, Jawa Barat.
Beberapa bulan kemudian, pada 11 Maret 1966, Soekarno mengeluarkan Surat Perintah Sebelas Maret atau lebih dikenal sebagai Supersemar.
Isi Supersemar adalah Soekarno memberi mandat kepada Menteri/Panglima Angkatan Darat Soeharto untuk mengambil segala tindakan dalam upaya mengatasi konflik yang terjadi.
Supersemar inilah yang kemudian membawa Soeharto naik ke tampuk kekuasaan menggantikan kedudukan Soekarno sebagai Presiden Indonesia sejak 1967-1998.