Notification

×

Iklan

Iklan

Klaim TNI Dipatahkan Data Satelit: Banjir Sumut Bukan Sekadar Hujan, Hutan Terbukti Menyusut

Desember 06, 2025 Last Updated 2025-12-06T12:11:43Z




Pernyataan Panglima Kodam I Bukit Barisan Mayor Jenderal Rio Firdianto soal tidak ditemukannya penggundulan hutan di Sumatera Utara menuai sorotan. Klaim tersebut disampaikan usai peninjauan udara menggunakan helikopter di lokasi banjir dan longsor pada Sabtu, 29 November 2025.

Dalam keterangannya kepada media, Rio menyebut bencana terjadi murni akibat curah hujan tinggi yang berlangsung berhari-hari. Hujan deras dinilai membuat tanah jenuh hingga akhirnya memicu longsor di sejumlah titik hutan. Namun, hasil penelusuran dan verifikasi menunjukkan fakta yang lebih kompleks.

Banjir Sumatera Utara Terjadi di Puluhan Titik

Bencana banjir dan longsor tercatat melanda 62 titik di Sumatera Utara, tersebar di delapan kabupaten dan kota. Kabupaten Tapanuli Tengah dan Kota Sibolga menjadi wilayah dengan dampak paling parah, baik dari segi kerusakan maupun korban terdampak.

Hasil pemeriksaan mendalam mengungkap bahwa bencana tidak hanya dipicu faktor cuaca ekstrem, tetapi juga erat kaitannya dengan kerusakan lingkungan, perubahan tutupan lahan, dan menurunnya daya serap wilayah.

Siklon Tropis Senyar Picu Hujan Ekstrem

Faktor pertama berasal dari fenomena cuaca ekstrem, yaitu Siklon Tropis Senyar yang terbentuk secara anomali di Selat Malaka pada akhir November 2025. Siklon ini menyebabkan hujan deras dengan intensitas sangat tinggi di wilayah Sumatera Utara.

BMKG menjelaskan bahwa hujan yang turun mencapai 380 milimeter, setara curah hujan satu bulan yang jatuh hanya dalam satu hari. Siklon tersebut terjebak di antara dataran tinggi Sumatera dan Semenanjung Malaysia, sehingga hujan lebat berlangsung selama beberapa hari berturut-turut.

Masalah Utama: Lahan Tak Lagi Menyerap Air

Meski curah hujan ekstrem menjadi pemicu awal, para ahli menegaskan banjir tidak akan separah itu jika fungsi lingkungan masih terjaga. Dosen Teknik Geodesi dan Geomatika ITB, Dr. Heri Andreas, menekankan bahwa banjir bukan sekadar persoalan hujan, melainkan bagaimana tanah dan permukaan bumi mengelola air.

Kawasan dengan tutupan hutan alami memiliki kemampuan infiltrasi air jauh lebih baik. Sebaliknya, lahan yang berubah menjadi pemukiman, perkebunan, atau area terbuka mengalami peningkatan limpasan air (runoff) yang signifikan, sehingga banjir lebih mudah terjadi.

Data Membantah: Hutan Sumut Terus Menyusut

Berbagai data memperlihatkan penggundulan hutan di Sumatera Utara bukan isapan jempol. Global Forest Watch mencatat, sepanjang 2002–2024 provinsi ini kehilangan sekitar 390 ribu hektare hutan primer basah. Total kehilangan tutupan hutan sejak 2001 bahkan mencapai 1,6 juta hektare, dengan emisi karbon sekitar 810 juta ton CO₂e.

Sementara itu, analisis Greenpeace Indonesia menyebut hutan alam Sumatera Utara kini hanya tersisa sekitar 10–14 juta hektare. Dalam lebih dari tiga dekade terakhir, hutan alam banyak beralih fungsi menjadi perkebunan, pertanian lahan kering, dan hutan tanaman industri.

DAS Batang Toru Jadi Contoh Kerusakan Parah

Salah satu wilayah paling terdampak alih fungsi hutan adalah Daerah Aliran Sungai (DAS) Batang Toru, yang meliputi Tapanuli Utara, Tapanuli Selatan, dan Tapanuli Tengah. Kawasan ini merupakan benteng terakhir hutan hujan tropis Sumatera Utara.

Dalam periode 1990–2022, deforestasi di DAS Batang Toru mencapai 70 ribu hektare atau sekitar 21 persen dari total wilayah DAS. Saat ini, hutan alami yang tersisa hanya sekitar 49 persen, sementara sisanya telah berubah fungsi akibat berbagai izin pertambangan, perkebunan sawit, dan pemanfaatan hutan skala besar.

Kesimpulan: Klaim Tak Sepenuhnya Tepat

Berdasarkan data satelit, kajian ilmiah, dan analisis lingkungan, bencana banjir dan longsor di Sumatera Utara tidak bisa dijelaskan semata-mata oleh hujan ekstrem. Kerusakan hutan dan penurunan kapasitas resapan air menjadi faktor penting yang memperbesar dampak bencana.

Dengan demikian, klaim bahwa tidak ada penggundulan hutan di Sumatera Utara tidak sepenuhnya sejalan dengan bukti lapangan dan data pemantauan jangka panjang. Perlindungan kawasan hutan dan daerah resapan air menjadi kunci utama untuk mencegah bencana serupa terulang di masa mendatang.