Update sidang MK sengketa Pilpres 2024, terbaru hakim MK menjadi sorotan setelah ucapannya terkait pemanggilan Jokowi ke persidangan.
Diketahui, Hakim MK telah memanggil 4 menteri Jokowi untuk mengulik mengenai pemberian bansos yang disebut ada politisasi di Pemilu 2024,
Namun, kehadiran menteri Jokowi ini dirasa tidak cukup hingga Koalisi Masyarakat Sipil meminta agar Hakim MK memanggi Presiden.
Tetapi, Hakim MK tampaknya tidak mempertimbangkan permintaan untuk memanggil Jokowi.
Sebelumnya, Hakim MK, Arief Hidayat mengakui bahwa Pilpres 2024 lebih "hiruk pikuk" karena ada dugaan cawe-cawe Jokowi untuk anaknya.
Namun, Arief merasa tidak elok jika harus memanggil kepala negara ke persidangan.
“Mahkamah sebetulnya juga, apa iya kita memanggil kepala negara, Presiden Republik Indonesia?
Kelihatannya kan kurang elok, karena presiden sekaligus kepala negara dan kepala pemerintahan,” kata Arief dalam sidang pada Jumat (5/4/2024).
“Kalau hanya sekedar kepala pemerintahan akan kita hadirkan di persidangan ini, tapi karena presiden sebagai kepala negara, simbol negara yang harus kita junjung tinggi oleh semua stakeholder, maka kita memanggil para pembantunya, dan pembantunya ini yang berkaitan dengan dalil pemohon.”
Ketua Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Kaka Suminta mengkritik pernyataan hakim konstitusi, Arief Hidayat soal "tidak elok" memanggil Presiden RI Joko Widodo ke persidangan perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU). Kaka menilai sikap ini dapat membangun persepsi bahwa presiden kebal hukum.
Kaka menegaskan presiden dapat dipanggil ke persidangan sesuai kebutuhan.
Ungkapan Hakim Arief Hidayat dinilainya seolah menguatkan mitos bahwa presiden tidak bisa diadili.
"Sikap hakim MK ini politis, kan, Presiden bisa dipanggil. Lebih baik hal itu tidak diucapkan.
Ketika terucap, MK justru membuat postulat seolah tak bisa mengadili presiden.
Bagaimana tidak, dipanggil ke sidang pun tak bisa,” kata Kaka, Sabtu (6/4/2024) seperti dikutip TribunKaltim.co dari kompas.tv.
Kaka menilai seorang hakim konstitusi tidak seharusnya mengatakan hal tersebut.
Dengan sikap demikian, Kaka menilai MK telah membatasi kewenangan sendiri.
Kaka juga menyorot kehadiran empat menteri yang kurang digali secara mendetail keterangannya oleh MK.
Menurutnya, masih ada perasaan sungkan terhadap presiden beserta jajaran pembantunya.
"Kalau memang Presiden perlu hadir, ya, dihadirkan saja.
Apalagi, jawaban keempat menteri yang dipanggil juga normatif," kata Kaka dikutip dari Kompas.id.
Di lain sisi, Kaka menilai masih banyak hal yang perlu didalami MK sehingga piha-pihak lain perlu didatangkan. Ia menyinggung dugaan keterlibatan aparat Polri, TNI, dan ASN selama Pemilu 2024.
"Kami berharap MK bisa komprehensif dalam membuat keputusan nanti.
Putusan perlu menerangkan secara gamblang permasalahan dan mengembalikan marwah demokrasi nasional," katanya.
Sementara itu, peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Fadli Ramadhanil menyebut Presiden Jokowi seharusnya bisa dihadirkan kemarin. Pasalnya, proses pembuktian di MK sudah selesai per Jumat (5/4).
Kesaksian Menteri Keuangan Sri Mulyani, Menteri Sosial Tri Rismaharini, Menko Perekonomian Airlangga Hartanto, dan Menko PMK Muhadjir Effendy dianggap terlalu normatif dan umum, sehingga tidak menjawab secara menyeluruh terkait politisasi bantuan sosial.
"Meski begitu, pengetahuan dan keyakinan hakim dalam konteks politisasi bantuan sosial serta lainnya, kan, tidak hanya bersumber dari keterangan menteri.
Tentu nanti akan diverifikasi dengan keterangan, bukti, dan petunjuk lain. Mungkin ini nanti yang bisa membuat terang perkara PHPU," kata Fadli.
Minta Jokowi Dipanggil
Permintaan Koalisi Masyarakat Sipil agar MK memanggil Presiden Jokow ini disampaikan melalui surat terbuka untuk Mahkamah Konstitusi.
Anggota Koalisi Masyarakat Sipil, Usman Hamid mengatakan, Jokowi dinilai perlu dihadirkan karena mempengaruhi jalannya penyelenggaraan pemilu.
"Atas dasar itu kami (juga) memandang penting dan mendesak bagi Mahkamah Konstitusi untuk segera menghadirkan dan meminta keterangan Presiden Joko Widodo (Jokowi) di sidang MK," kata Usman usai menyerahkan surat terbuka di Gedung 3 Mahkamah Konstitusi, Jakarta Pusat, Kamis (4/4/2024).
Dikutip TribunKaltim.co dari kompas.com, Usman menjelaskan, alasan Jokowi perlu dipanggil karena indikasi penyaluran bantuan sosial yang digunakan untuk mendukung paslon tertentu.
Presiden dan para menteri yang terlibat dinilai membagikan bansos sebagai dukungan memberikan elektoral capres-cawapres nomor urut 2, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka.
Selain itu, Jokowi juga dinilai menggerakkan para menteri Kabinet Indonesia Maju untuk mendukung capres-cawapres nomor urut 2.
Berdasarkan aturan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 menilai, setiap tindakan para menterinya itu diketahui oleh Jokowi.
"Berdasarkan aturan tersebut, tidak ada kerja para menteri yang tanpa sepengetahuan Presiden.
Apalagi terdapat menteri yang tidak bekerja sesuai nomenklatur seperti Menteri Koordinator Bidang Perekonomian dalam penyaluran bansos," imbuh dia.
Selain itu, Usman mengatakan, kebobrokan Pemilu 2024 akibat campur tangan Jokowi disorot oleh Komite Hak Asasi Manusia (HAM) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Sikap Jokowi yang dinilai meloloskan putra sulungnya Gibran Rakabuming Raka sebagai bentuk kolusi dan nepotisme.
"Secara khusus, keseluruhan sikap-sikap Presiden yang tidak semestinya dalam mempengaruhi proses pemilu sedemikian rupa telah memberikan keuntungan elekotral bagi paslon 02," tuturnya.
Sebab itu, Usman berharap agar surat terbuka dari Koalisi Masyarakat Sipil bisa dikabulkan Hakim MK.
Adapun Koalisi Masyarakat Sipil ini terdiri dari individu dan organisasi.
Sembilan individu yaitu
Mantan Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW), Adnan Topan Husodo;
mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Agus Rahardjo;
Sekretaris Jenderal Transparency International Indonesia, Danang Widoyoko;
Ahli Hukum Tata Negara Feri Amsari;
mantan pimpinan KPK, Muhammad Busyro Muqoddas;
mantan penyidik KPK Novel Baswedan;
mantan pimpinan KPK Saut Situmorang;
Ketua Dewan Penasehat PVRI, Tamrin Aal Tomagola;
Dewan Penasehat Perludem Titi Anggraeni; dan
Direktur Amnesty Internasional Usman Hamid.
Sedangkan dari organisasi adalah
IM57+ Institute,
LBH AP PP Muhammadiyah,
Pusat Studi Hukum dan Kebijakan,
PVRI,
Gerakan Salam 4 Jari,
Gerakan Anti Korupsi Lintas Perguruan Tinggi.