Belakangan jagat media sosial dihebohkan dengan kabar gaji anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang disebut mencapai Rp 3 juta per hari. Jika dihitung, jumlah tersebut setara dengan sekitar Rp 90 juta per bulan. Isu ini pertama kali ramai setelah diunggah akun TikTok @tahwa*** pada Kamis (14/8/2025).
Dalam video yang sudah ditonton lebih dari 280 ribu kali itu, tampak tulisan “MANTAP! Gaji Anggota DPR RI Naik Jadi 3 Juta Per Hari”. Unggahan serupa juga muncul di Instagram melalui akun @pandemic***, yang menyinggung pernyataan anggota Komisi I DPR, TB Hasanuddin. Ia menyebutkan bahwa take home pay atau gaji bersih anggota DPR kini bisa menembus lebih dari Rp 100 juta per bulan, lebih tinggi dari periode sebelumnya karena anggota dewan tak lagi mendapatkan rumah dinas.
Pengamat Politik: DPR Kehilangan Empati
Menanggapi isu tersebut, pengamat politik Ray Rangkuti menyampaikan kritik tajam. Menurutnya, kenaikan gaji DPR di tengah kondisi rakyat yang serba sulit hanya memperlebar jarak emosional antara wakil rakyat dan konstituennya.
“Ini menyepelekan kesusahan sebagian besar masyarakat Indonesia yang tengah tertatih-tatih mencari penghasilan untuk kebutuhan sehari-hari,” kata Ray kepada Kompas.com, Jumat (15/8/2025).
Ia menilai, DPR seolah kehilangan empati terhadap rakyat. Bahkan, kenaikan gaji ini dianggap seperti meledek penderitaan masyarakat yang sedang menghadapi tekanan ekonomi. “Kenaikan ini juga sempat memunculkan tagar Indonesia Gelap di media sosial,” tambahnya.
Kesejahteraan Pejabat Diutamakan
Lebih jauh, Ray menilai isu gaji Rp 3 juta per hari ini menunjukkan arah kebijakan pemerintahan Presiden Prabowo yang lebih memprioritaskan kesejahteraan pejabat ketimbang rakyat.
“Rakyat dipungut pajak tinggi-tinggi, pejabat malah disiram gaji dan bonus melimpah. Rakyat boleh menderita, pejabat harus tetap sejahtera,” tegasnya.
Ray bahkan menyebut kenaikan ini bagian dari strategi pemerintah untuk “meninabobokan” DPR agar tidak terlalu vokal. “Di zaman Orba, istilahnya DPR 5D: datang, duduk, dengar, diam, duit,” sindirnya.
Tidak Sejalan dengan Efisiensi Anggaran
Ray juga menyoroti kontradiksi kebijakan ini dengan program efisiensi anggaran yang sebelumnya gencar digaungkan pemerintah. Menurutnya, banyak daerah justru dipaksa memotong anggaran pembangunan karena transfer dana pusat dikurangi dengan alasan efisiensi.
“Di satu sisi gaji DPR ditambah, di sisi lain anggaran daerah dipangkas. Akhirnya kepala daerah menaikkan pajak rakyat demi menutupi kekurangan dana. Inilah yang memicu protes, seperti demonstrasi masyarakat di Pati beberapa waktu lalu,” jelas Ray.
Isu kenaikan gaji DPR hingga Rp 3 juta per hari terus menuai sorotan publik. Di tengah kondisi ekonomi rakyat yang kian sulit, wacana ini dianggap mencederai rasa keadilan sosial. Bagi sebagian pengamat, kebijakan semacam ini bukan sekadar soal angka, tetapi simbol betapa jauhnya jarak antara kesejahteraan pejabat dan rakyat yang mereka wakili.

