Sebanyak 210.000 orang tidak lagi masuk kelompok miskin per Maret 2025, menurut Badan Pusat Statistik (BPS). Pencoretan ratusan ribu orang dari kelompok miskin itu disebut ekonom bertujuan menghemat anggaran perlindungan sosial yang mencapai lebih Rp500 triliun. Apa dampaknya?
Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Bhima Yudhistira, berkata penghematan itu berpotensi menciptakan beragam dampak buruk.
Selain itu, Bhima juga melihat motif politik di balik penurunan angka kemiskinan, yaitu untuk menunjukkan bahwa pemerintah berhasil menurunkan kemiskinan.
Padahal, menurutnya, klaim itu tidak sesuai kenyataan karena angka garis kemiskinan yang digunakan terlalu rendah.
Pengamat ekonomi kerakyatan dari UGM, Hempri Suyatna, meminta pemerintah untuk tetap memberikan perlindungan kepada ratusan ribu orang yang masih rentan itu, seperti program keterampilan khusus, agar mereka tidak kembali masuk dalam kelompok miskin.
Saat dikonfirmasi, Menteri Sosial Saifullah Yusuf atau Gus Ipul menegaskan bahwa Presiden Prabowo Subianto tidak pernah memerintahkan mengurangi bansos, walaupun jumlah warga miskin menurun.
"Tidak ada perintah untuk mengurangi bansos, sebaliknya malah mau ditambah dan tentu dialihkan kepada mereka yang lebih berhak. Alokasi bansosnya malah tetap dan bisa jadi ditambah ada penebalan beberapa KPM," katanya.
Gus Ipul pun membantah jika pengurangan jumlah kemiskinan itu dijadikan alat politik.
"Ya, enggak lah. Kita kan kerja terukur. Jadi kerjanya harus terukur. Maka kalau ada peningkatan, ya mungkin ukurannya dua-duanya. Ini ukuran lama sekian, ukuran baru sekian. Itu baru lebih fair," tambahnya.
BPS mencatat persentase penduduk miskin pada Maret 2025 menurun 0,10% terhadap September 2024, menjadi 8,47%.
Jumlah penduduk miskin berkurang 210.000 orang pada periode sama, mencapai 23,85 juta orang.
Masyarakat masuk dalam kategori miskin jika pengeluaran mereka di bawah Rp609.160 per kapita per bulan atau Rp20.305 per hari.
Berangkat dari angka-angka itu, BBC News Indonesia mewawancarai sekelompok warga miskin penerima bansos yang gelisah bakal dicoret dari kelompok miskin karena pengeluaran mereka di atas Rp20.305 per hari.
'Pengeluaran maksimal Rp20.305 tidak masuk akal'
Keringat Saring, 45 tahun, bercucuran di wajah hingga membasahi baju. Warga Desa Musam Pembangunan, Kabupaten Langkat, Sumatra Utara, ini pulang setelah nyaris seharian bekerja di ladang orang.
Saring merupakan buruh lepas yang penghasilannya tidak tetap. Saring masuk dalam daftar penerima bantuan dari Program Keluarga Harapan (PKH).
Sejak beberapa tahun terakhir, Saring mengisi dompet dengan bekerja sebagai pemanen harian lepas kebun sawit milik warga.
Penghasilanya paling besar Rp70.000 per hari atau jika beruntung mendapat Rp2 juta per bulan.
Dengan penghasilan segitu, lanjut Saring, ia kesulitan mencukupi keperluan sekolah anak. Kondisi ini sedikit terbantu dengan adanya program PKH.
Dalam setahun, bantuan yang diperoleh Saring untuk menyekolahkan anak-anaknya sekitar Rp400.000 hingga Rp600.000 per tahap.
"Takutnya bisa putus sekolah. Karena penghasilan orang tuanya tidak tetap. Bantuan itu sangat berarti," ujar Saring yang beberapa hari lalu memperoleh bantuan bedah rumah dari pemerintah desa, Selasa (29/07).
Menurut bapak lima anak ini pengeluaran maksimal Rp20.305 per hari atau Rp609.160 per bulan untuk dikategorikan sebagai keluarga kurang mampu sangat tidak masuk akal.
Sebab dengan pengeluaran maksimal Rp70.000 per hari saja, Saring mengaku kehidupan dirinya dan keluarga sudah sangat sulit.
"Pengeluaran maksimal Rp20.305 tidak masuk akal, tidak mungkin lah. Tidak mungkin, secara logika saja tidak mungkin itu. Ya, cemana ya menjelaskannya," ujar Saring tertawa.
'Apakah saya salah menghabiskan Rp25.000 per hari?'
Sri Yatmi kaget saat mendengar bahwa seseorang dikategorikan miskin jika pengeluarannya Rp609.160 per bulan atau Rp20.305 per hari.
Pasalnya, untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya, perempuan yang berusia 73 tahun ini harus mengeluarkan lebih dari Rp20.000.
"Apakah saya salah menghabiskan uang Rp25.000 perhari untuk kebutuhan?" kata Sri, dengan raut wajah yang tampak ketakutan, saat ditemui di rumahnya, Senin (28/07).
Sri tinggal di daerah padat penduduk, di kelurahan Bandarharjo, Semarang, Jawa Tengah.
Akses jalan menuju rumahnya hanya selebar 50 sentimeter. Di kanan dan kiri jalan sempit itu berdiri tegak tembok bangunan, membuat jalan itu layaknya lorong yang tak pernah terpapar mentari.
Di ujung jalan itu terdapat kamar mandi. Belok kanan sedikit, pintu depan rumah Sri Yatmi menyambut setiap orang yang datang.
Sri tinggal bersama kedua anaknya yang sudah berkeluarga. Demi mencukupi kebutuhannya, ia terkadang membantu usaha milik anaknya jualan minuman dan makan.
"Kadang diberi uang itu enggak pasti, pokoknya setiap hari itu kebutuhan saya sekitar Rp20.000-Rp25.000," akunya.
Uang itu dihabiskannya untuk membeli kebutuhan sehari-hari yang semakin melambung tinggi, obat, jamu dan lainnya.
Selain itu, Sri juga sangat bergantung pada uluran tangan negara, seperti bansos PKH setiap tiga bulan sekali, untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya.
"Itu saya dapat tiga bulan sekali, sekitar Rp1,2 juta," sebutnya.
Dia kini mengaku takut jika tak lagi masuk sebagai warga miskin dan bansos yang diterima dicabut karena pengeluaran di atas Rp20.305 per hari.
"Tapi saya pasrah saja, kalau dibilang keberatan saya keberatan. Karena saya sebenarnya juga tidak ingin dengan kondisi seperti ini [hidup miskin]. Rezeki yang atur Tuhan," sahutnya.
Di lokasi yang berbeda, sepasang keluarga muda tinggal di sebuah rumah berdinding kayu dan beratap seng yang ditindih ban bekas.
Siti Sumarni, 28 tahun, tinggal bersama suami, anak dan bapaknya di Kelurahan Plombokan, Semarang Utara.
Siti bercerita segala pengeluaran keluarganya ditopang oleh suaminya, dari kebutuhan sehari-hari hingga obat ayahnya.
"Penghasilan, bulanannya itu paling Rp2 juta. Itu sering kurang dan utang sama keluarga," ujar Siti yang menyebut suaminya berdagang di pasar.
Dia pun tidak setuju jika standar penentuan kemiskinan jika pengeluaran di bawah Rp20.305 per hari.
Menurutnya, pengeluaran seperti itu terlalu rendah dan tidak sesuai dengan harga kebutuhan pokok yang terus meningkat.
Siti bilang, dengan kondisinya saat ini, keluargnya menghabiskan uang lebih dari Rp20.000 per orang untuk kebutuhan sehari-hari.
"Bisa sampai lebih dari Rp50.000 ketika beli alat mandi, dan lainnya," ujarnya.
Dengan kondisi hidup yang dia sebut memprihatinkan, Siti mengaku tidak mendapatkan bansos PKH. "Namun kalau bapak dapat bantuan beras dari kelurahan itu. Perbulan itu antara lima kilo sampai 10 kilo," ungkapnya.
Siti pun berharap ke pemeritah agar keluarganya bisa terdaftar sebagai penerima bansos PKH dan bantuan beras untuk ayahnya tidak dicabut.
"Kita itu biasanya ikut makan beras itu, kalau [bansos] dicabut kita nanti makan apa?" imbuhnya.
Terkait dengan kegelisahan masyarakat itu, Mensos Gus Ipul berkata, "Sebenarnya kita lihat sekarang ini kalau untuk beli bahan-bahan pokok, Rp20.000 itu sudah lumayan, tapi tetap itu relatif lah. Yang menjadikan ukuran ini kan ada rinciannya, tidak Rp20.000 begitu saja."
"BPS itu ada rinciannya. Saya enggak bisa menjelaskan secara detail, tapi harus dielaborasi Rp20.000 itu, sehingga kita bisa lebih paham kenapa Rp20.000," kata Gus Ipul kepada BBC News Indonesia.
Saat ditanya apakah berarti jika seorang yang pengeluarannya lebih dari Rp20.000 akan keluar dari kategori miskin dan tidak mendapatkan bansos?
Gus Ipul menjawab "karena yang diukur itu kan komprehensif ya. Ada 39 item atau apa begitu loh. Jadi mesti kita lihat lebih dalam lah. Saya sekarang belum bisa menjelaskan dengan rinci, kalau indikator-indikatornya itu. Karena itu harus sebaiknya langsung ke BPS saja."
Apakah standar kemiskinan BPS realistis?
BPS mengumumkan jumlah penduduk miskin pada Maret 2025 tercatat 23,85 juta orang, pada Jumat (25/07).
Angka itu diklaim berkurang lebih dari 210.000 orang jika dibandingkan pada September 2024 dan bahkan menurun 1,37 juta orang terhadap Maret 2024.
Jumlah penduduk miskin itu sebesar 8,47% dari total 285 juta warga Indonesia.
Sementara untuk yang miskin ekstrem tercatat 0,85% atau 2,38 juta. Angka ini turun 0,41% dibandingkan Maret tahun lalu sebesar 1,26%.
Deputi Statistik Sosial BPS Ateng Hartono bilang seseorang masuk kategori miskin jika pengeluarannya di bawah Rp609.160 per kapita per bulan atau Rp20.305 per hari, merujuk pada survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas).
Jumlah sampel yang diambil dalam survei ini sebanyak 345 ribu rumah tangga yang tersebar di 38 provinsi dan 514 kabupaten/kota.
Artinya, rumah tangga miskin dengan rata-rata 4,72 anggota rumah tangga yang pengeluarannya berada di bawah Rp2.875.235 per bulan.
"Garis kemiskinan dihitung berdasarkan pengeluaran kebutuhan dasar rumah tangga, baik makanan maupun non-makanan", ungkap Ateng.
Merujuk pada angka-angka itu, Ateng mengeklaim jumlah penduduk miskin sekarang berada di titik terendah selama dua dekada terakhir.
Namun, ekonom dan direktur Next Policy, Yusuf Wibisono menyebut nilai standar kemiskinan BPS itu terlalu rendah dan tidak mencerminkan kondisi di lapangan, seperti maraknya gelombang PHK, melonjaknya biaya hidup, hingga turunnya daya beli masyarakat.
"Dengan adopsi standar kemiskinan yang terlalu rendah, maka ada begitu banyak penduduk yang sebenarnya miskin dan lemah namun 'secara statistik' dianggap sebagai penduduk tidak miskin," katanya.
Yusuf berkata, garis kemiskinan yang digunakan BPS kini sekitar US$3,35 PPP (paritas daya beli, purchasing power parity) per kapita per hari.
Padahal standar kemiskinan negara menengah atas, yang mana Indonesia masuk di dalamnya sejak 2023, menurut Bank Dunia adalah US$8,30 PPP per kapita per hari.
"Jika kita menggunakan garis kemiskinan upper-middle income ini maka angka kemiskinan Indonesia akan melambung tinggi menjadi kisaran 68%, setara dengan 195 juta jiwa," katanya.
Next Policy merekomendasikan agar garis kemiskinan nasional dinaikkan menjadi Rp1,2 juta per kapita per bulan.
"Ukuran kemiskinan yang lebih tinggi akan memberi implikasi penting untuk formulasi strategi pertumbuhan ekonomi yang lebih inklusif," tambahnya.
Sebelumnya, Wakil Menteri Sosial Agus Jabo Priyono menyebut perbedaan standar kemiskinan Indonesia dengan Bank Dunia karena harga kebutuhan pokok di masing-masing negara yang berbeda-beda.
"Kenapa kemudian angkanya berbeda? Karena pengeluaran per hari per individu di negara Barat berbeda. Saya juga baru tahu," kata Agus, Kamis (08/05).
Agus mengatakan, standar kemiskinan yang digunakan pemerintah mengacu pada kondisi riil di lapangan, termasuk daya beli masyarakat dan harga kebutuhan pokok di Indonesia.
Motif politik di baliknya
Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, melihat ada motif politik di balik penentuan standar garis dan jumlah kemiskinan ini, yaitu untuk memberikan penguatan secara politik bahwa kemiskinan berhasil diturunkan.
"Padahal angka Rp600.000 itu jauh dari versi Bank Dunia yang Rp1,5 juta. Dan itu tidak diubah karena Indonesia sengaja sebenarnya. Jadi ada intensi politik untuk menghentikan upaya revisi garis kemiskinan, sehingga jumlah warga miskin terkesan berkurang dan pemerintah berhasil, nyatanya tidak kan dan malah bertambah," kata Bhima.
Pandangan yang sama juga diungkapkan oleh pengamat ekonomi kerakyatan Universitas Gadjah Mada (UGM), Hempri Suyatna.
"Ketika angka kemiskinan turun itu berarti akan menunjukkan misalnya keberhasilan sebuah rezim pemerintah dalam rangka menekan angka kemiskinan. Padahal mungkin realitasnya tidak demikian, misalnya kalau kita lihat secara kualitatif," kata Hempri.
Hempri juga melihat pengeluaran Rp20.305 per hari jauh dari kenyataan hidup layak yang dihadapi masyarakat.
"Sekali makan saja bisa Rp15.000, masa makan sekali sehari, belum lagi kebutuhan lain. Angka itu tidak ideal mengambarkan tingkat kemiskinan," kata Hempri.
Mensos Gus Ipul membantah jika pengurangan jumlah kemiskinan itu dijadikan alat politik.
"Ya, enggak lah. Kita kan kerja terukur. Jadi kerjanya harus terukur. Kan kita kerja itu berdasarkan ukuran tahun sebelumnya. Kalau tahun sebelumnya, kadang kita dinaikin ukurannya, jadi kerjanya kan jadi nanti enggak keharuan," kata Gus Ipul ke BBC News Indonesia.
"Maka kalau ada peningkatan, ya mungkin ukurannya dua-duanya. Ini ukuran lama sekian, ukuran baru sekian. Itu baru lebih fair. Jadi pada dasarnya BPS sudah punya standar. Kita ikuti dulu standarnya dan BPS akan memperbaiki ukuran-ukuran itu." tambahnya.
Sehari usai data BPS dirilis, Gus Ipul menyebut capaian itu sebagai bukti nyata keberhasilan strategi besar Presiden Prabowo Subianto dalam menangani kemiskinan.
"Hari ini, kita mulai merasakan buah dari strategi besar Presiden Prabowo. Langkah-langkah konkret dalam penanganan kemiskinan kini terlihat hasilnya dan ditunjukkan secara data oleh BPS," ujar Gus Ipul, Sabtu (26/07).
Sebelum BPS merilis datanya, Presiden Prabowo juga mengeklaim, pada Senin (29/07), bahwa angka kemiskinan dan pengangguran menurun, dengan menggunakan data BPS.
"Kepala BPS lapor ke saya angka pengangguran menurun angka kemiskinan absolut menurun, ini BPS yang bicara," kata Prabowo di Kongres PSI, Solo, Minggu, (2007).
Penghematan ekstrem bantuan sosial
Bhima dari Celios juga melihat penurunan angka kemiskinan ini akan digunakan untuk "penghematan ekstrem terhadap bantuan sosial atau anggaran perlindungan sosial."
"Dengan angka kemiskinan BPS itu seolah jumlah penerima bansos sekarang tidak perlu mengalami penambahan, padahal anggaran perlindungan sosial kita cuma 2,2% dari PDB, negara lain sudah di atas 4,5% dari PDB," katanya.
"Artinya memang enggak niat pemerintah untuk memberikan bansos lebih banyak. Jadi garis kemiskinannya tidak dilakukan revisi secara metodologi. Kalau menggunakan standar Bank Dunia, kita butuh tiga kali lipat dari anggaran perlindungan sosial sekarang, yaitu Rp 1.500 triliun."
Bhima juga melihat akan ada lebih 200.000 orang yang dulu menerima bantuan kini terancam dikeluarkan karena dianggap sudah tidak miskin lagi.
Bantuan yang dimaksud dari Program Keluarga Harapan (PKH), Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT), iuran BPJS Kesehatan, hingga program lainnya.
"Yang lebih parah lagi ini akan mempertebal struktur ketimpangan antara orang yang kelompok paling atas dengan kelompok miskin. Celios menemukan 50 orang terkaya di Indonesia, kekayannya itu setara 50 juta orang Indonesia. Itu karena salah satunya tidak ada jaring pengaman sosial untuk mengurangi ketimpangan secara struktural," ujarnya.
Hempri Suyatna dari UGM pun mencontohkan gambaran sederhana penghematan itu.
"Misalnya bansos Rp200.000 per bulan, setahun bisa Rp2,4 juta, lalu dikalikan 200.000 orang. Itu bisa penghembatan besar. Belum lagi pengurangan skema perlindungan lain, seperti BPJS Kesehatan dan lainnya," katanya.
Hempri pun berharap agar pemerintah tetap memberikan perlindungan kepada ratusan ribu orang itu agar tidak kembali masuk dalam kelompok miskin.
"Ketika mereka itu lepas dari garis kemiskinan, pemerintah harus tetap ada program-program keterampilan khusus atau soft skill kepada mereka. Jangan langsung dilepas, kalau terjadi berarti pemerintah kurang punya tanggung jawab," katanya.
Menanggapi itu, Mensos Gus Ipul menegaskan bahwa Presiden Prabowo tidak pernah memerintahkan untuk mengurangi dana bansos untuk perlindungan sosial.
"Tidak ada perintah untuk mengurangi bansos, sebaliknya malah mau ditambah dan tentu dialihkan kepada mereka yang lebih berhak. Alokasi bansosnya malah tetap dan bisa jadi ditambah ada penebalan beberapa KPM," katanya.
Sebelumnya, Kemensos telah mengeluarkan 1,8 juta keluarga dari daftar penerima bantuan pada triwulan kedua tahun 2025.
Penyebabnya karena keluarga itu tergolong dalam kelompok masyarakat di atas Desil 5, atau bukan termasuk kategori miskin dan rentan berdasarkan pemetaan data terbaru.
Berapa anggaran perlindungan sosial pada 2025?
Pemerintah menganggarkan Rp504,7 triliun untuk perlindungan sosial pada tahun 2025, tumbuh 1,6% dibandingkan APBN 2024.
Bantuan itu meliputi Program Keluarga Harapan (PKH) untuk 10 juta keluarga penerima manfaat (KPM). Program Kartu Sembako untuk 18,8 juta KPM. Asistensi Rehabilitasi Sosial (Atensi) bagi 42,4 ribu anak, 37,4 ribu lansia, dan 64,1 ribu penyandang disabilitas.
Selain itu, anggaran juga digunakan untuk pelaksanaan tanggap darurat bencana melalui BNPB dan BLT desa untuk 2,96 juta KPM.
Dana itu juga turut digunakan untuk subsidi, seperti subsidi BBM jenis tertentu sebanyak 19,41 juta kiloliter, LPG 3 kilogram sebanyak 8.170 juta kg, serta subsidi bunga KUR untuk 7,05 juta debitur.
Pemerintah telah menggelontorkan dana perlindungan sosial sebesar Rp3.127,6 triliun sepanjang 2015-2023.
Dana itu diklaim mampu menurunkan tingkat kemiskinan, ketimpangan hingga pengangguran.
Selain itu, pemerintah juga mengalokasikan anggaran sebesar Rp11,93 triliun untuk penebalan bansos, mencakup tambahan bantuan Kartu Sembako sebesar Rp200 ribu per bulan dan bantuan pangan berupa beras 10kg per bulan.
Mensos Gus Ipul, melaporkan realisasi penyaluran PKH telah mencapai lebih dari 8,04 juta KPM per 1 Juli 2025, atau setara 80,49% dari total kuota penerima.
Lalu untuk bansos sembako telah disalurkan kepada lebih dari 15,4 juta KPM, atau sekitar 84,71% dari total kuota, dengan total nilai mencapai Rp 9,2 triliun.
Penyaluran dilakukan secara bertahap berdasarkan Data Tunggal Sosial Ekonomi Nasional (DTSEN). Gus Ipul menyebutkan, ada lebih dari 20 juta data calon penerima, di mana sebanyak 16,5 juta telah dinyatakan valid berdasarkan DTSEN. [sb]