Riuh perdebatan di ruang publik kembali mengerucut pada satu isu lama: keaslian ijazah Gibran Rakabuming Raka. Isu yang sempat reda usai Pilpres 2024, kini menyeruak lagi seiring peran politik putra sulung Presiden ke-7 RI, Joko Widodo.
Politikus Partai Golkar, Indra J Piliang, menilai polemik ini sudah memasuki fase krusial. Dalam pernyataan yang ia sampaikan melalui akun media sosial, Indra menyebut kasus ini “sulit untuk diselamatkan” dan mengibaratkan sudah waktunya "lempar handuk”.
“Bayangkan kalau otoritas Singapura dan Australia ikut bicara. Sulit untuk diselamatkan. Saatnya lempar handuk,” ujar Indra, dikutip dari akun media sosialnya pada Jumat, 19 September 2025.
Dua dokumen penyanggah
Sejak isu ini pertama mencuat, Gibran telah menunjukkan dua dokumen untuk membantah tuduhan:
Ijazah Bachelor of Science (BSc) dari University of Bradford, Inggris, melalui program MDIS Singapura.
Surat keterangan kesetaraan dari Kemendikbudristek yang menyatakan ijazah luar negeri tersebut setara dengan gelar S1 di Indonesia.
Meski begitu, keraguan publik tak sepenuhnya reda. Perdebatan terutama soal status program studi yang ditempuh: apakah setara sarjana penuh atau hanya diploma.
Pasal 169 huruf r UU Pemilu menyatakan,”Persyaratan menjadi calon Presiden dan calon Wakil Presiden adalah: (r) “berpendidikan paling rendah tamat sekolah menengah atas, madrasah Aliyah, sekolah menengah kejuruan, madrasah Aliyah kejuruan, atau sekolah lain yang sederajat”.
Singapura dan Australia
Latar pendidikan Gibran memang melibatkan dua negara itu. Sebelum ke Singapura, ia sempat menjalani program persiapan di Sydney, Australia. Setelah itu, Gibran melanjutkan ke Management Development Institute of Singapore (MDIS), yang bekerja sama dengan University of Bradford.
Indra J. Piliang menilai, jika otoritas pendidikan di kedua negara itu mengeluarkan pernyataan resmi berbeda dengan klaim yang ada, dampaknya bisa serius bagi posisi politik Gibran.
“Kasus ini seperti bom waktu kalau tidak ditangani dengan keterbukaan total,” kata Indra.
Pernyataan “lempar handuk” dari Indra dipahami banyak pengamat sebagai sinyal agar pihak Gibran menyiapkan langkah antisipatif.
Jika klarifikasi resmi dari universitas atau kementerian pendidikan di luar negeri muncul, konsekuensinya bisa melemahkan legitimasi politik Gibran di mata publik.
Isu ini menjadi ujian besar, bukan hanya untuk Wapres Gibran, tetapi juga bagi koalisi politik yang mendukungnya. Transparansi dan keterbukaan informasi akademik dinilai sebagai kunci untuk meredakan spekulasi yang kian meluas.